Álvaro Morata: Striker “Langganan Dicela” Tapi Konsisten Cetak Gol di Klub Elit dan Turnamen Besar

Dalam dunia sepak bola, ada striker yang dicintai karena gol-gol spektakuler. Ada juga yang disorot karena flair dan gaya selebrasi. Tapi ada satu jenis striker yang gak banyak dipuja, sering kena kritik, tapi… selalu dipercaya sama pelatih top.

Itulah Álvaro Morata.

Dari Real Madrid, Juventus, Chelsea, Atletico, sampai timnas Spanyol, dia selalu jadi opsi utama. Gak selalu konsisten 100%, tapi kalau udah masuk turnamen besar? Namanya sering ada di scoreboard.


Awal Karier: Didikan La Fábrica dan La Furia Roja Muda

Álvaro Morata lahir 23 Oktober 1992 di Madrid. Dia masuk akademi Real Madrid (La Fábrica) setelah sempat di Atlético dan Getafe. Dari awal, dia bukan striker penuh gaya — tapi striker serba cukup: tinggi, cepat, kuat, dan punya positioning bagus.

Bareng Real Madrid Castilla (tim B), dia:

  • Jadi top scorer
  • Bantu promosi ke Segunda División
  • Dikenal punya game sense bagus untuk umurnya

Gak lama, dia naik ke tim utama Real Madrid — tapi waktu itu, Benzema masih rajanya. Jadi Morata lebih banyak jadi pelapis.


Real Madrid (2010–2014): Striker Cadangan yang Suka Muncul di Momen Penting

Waktu itu squad Real Madrid lagi gila-gilaan: Ronaldo, Benzema, Bale. Tapi Morata tetap dapet menit, dan sering banget:

  • Masuk sebagai supersub
  • Cetak gol penentu
  • Tampil oke di Copa del Rey dan Liga

Tapi karena waktu main terbatas, akhirnya dia cabut ke Juventus (2014). Dan inilah momen Morata mulai meledak.


Juventus (2014–2016): Level Naik, Jadi Striker Andal

Di Juve, Morata dapet spotlight yang lebih besar:

  • Cetak gol krusial di Liga Champions 2014–15, termasuk lawan Madrid dan Barcelona
  • Duet mematikan bareng Carlos Tévez
  • Bawa Juve ke final UCL 2015
  • Juara Serie A dan Coppa Italia

Performanya bikin Real Madrid aktifin klausul buy-back, dan Morata balik ke Bernabéu tahun 2016.


Real Madrid (2016–2017): Top Skor Diam-Diam

Musim 2016–17, Morata balik ke Madrid dan… jadi top scorer kedua tim setelah Ronaldo.

Padahal dia:

  • Lebih sering jadi cadangan
  • Tapi tetap nyetak 20 gol di semua kompetisi
  • Sering jadi penyelamat di laga sulit

Tapi karena pengen jadi starter reguler, dia akhirnya pindah ke Chelsea. Di sinilah ceritanya mulai berliku.


Chelsea (2017–2019): Harapan Besar, Tekanan Besar, Mental Diuji

Chelsea beli Morata hampir £60 juta, menjadikannya pembelian termahal klub saat itu.

Awal musim? Ngeri:

  • Cetak hat-trick lawan Stoke
  • Total 15 gol di paruh pertama musim
  • Link-up play bagus dengan Hazard

Tapi perlahan, performanya drop:

  • Sering offside
  • Finishing gak klinis
  • Kelihatan frustrasi di lapangan
  • Mulai kena tekanan media dan fans

Mental Morata diuji. Bahkan dia sempat buka suara soal kesehatan mental dan rasa tidak percaya diri.


Atletico Madrid (2019–2020): Pulang ke Rumah, Cari Nafas Baru

Di Januari 2019, Morata pulang ke Atlético, klub masa kecilnya. Main bareng Diego Simeone, dia:

  • Jadi target man utama
  • Tampil lumayan stabil
  • Bantu tim lolos ke fase knockout UCL
  • Cetak 16 gol di musim penuh 2019–20

Tapi lagi-lagi, inkonsistensi jadi masalah. Kadang tajam banget, kadang hilang dari radar.


Juventus Lagi (2020–2022): Comeback Buat Bangkitin Karier

Morata dipinjam lagi ke Juve, kali ini dengan status striker utama. Dan hasilnya?

  • Duet bagus bareng Ronaldo dan Dybala
  • Top assist di UCL musim itu
  • Rajin cetak gol di fase grup
  • Kembali ke radar timnas Spanyol

Tapi musim berikutnya Juve struggling, dan dia kembali ke Atlético.


Timnas Spanyol: Dicintai & Dibenci, Tapi Selalu Dicetak Gol

Salah satu cerita paling kuat tentang Morata justru datang di EURO 2020.

  • Dicaci fans karena buang peluang
  • Tapi tetap dipercaya jadi starter
  • Cetak gol di semifinal lawan Italia
  • Miss di adu penalti, dan Spanyol tersingkir

Pasca turnamen, Morata buka-bukaan soal ancaman, tekanan mental, dan serangan pribadi. Tapi pelatih dan tim selalu di belakang dia.

Dia tetap langganan starter di Piala Dunia 2022 dan kini masih jadi penyerang utama di era Luis de la Fuente.


Gaya Main: Striker High-IQ, Bukan Sekadar Finisher

Morata bukan predator kotak penalti kayak Lewandowski atau Haaland. Tapi dia:

Pintar buka ruang
Bisa link-up dan hold-up
Tajam kalau dapet bola di cutback
Aktif bantu pressing
Selalu gerak, gak diem nunggu bola

Dan meskipun sering kena meme “offside FC”, kenyataannya dia:

  • Sering jadi opsi kreatif buat winger
  • Tajam di bola-bola udara
  • Bisa cetak gol di laga-laga besar

Dia udah cetak gol di:

  • Final Liga Champions
  • Derby Madrid
  • El Clasico
  • Laga penting timnas

Legacy: The Most Misunderstood Striker of His Generation

Morata itu bukan striker level Ballon d’Or, tapi dia:

  • Main di klub-klub elite
  • Dapet kepercayaan dari pelatih top: Zidane, Allegri, Sarri, Simeone, Enrique
  • Cetak lebih dari 200 gol di level klub dan negara
  • Tetap starter timnas selama satu dekade
  • Lewat tekanan mental luar biasa — dan bertahan

Di era yang sering ngehukum pemain dari satu kesalahan, Morata adalah bukti bahwa lo bisa terus bangkit meski berkali-kali jatuh.


Penutup: Álvaro Morata Bukan Striker Sempurna, Tapi Dia Simbol Konsistensi di Dunia yang Gak Sabar

Orang mungkin inget dia karena offside, atau gagal penalti. Tapi lo liat angka dan kontribusinya — Morata selalu hadir. Di liga top, di Liga Champions, di timnas.

Lo gak harus jadi paling hebat, tapi lo bisa jadi paling bisa diandalkan. Dan itulah Morata.

Di usia 31, dia mungkin gak banyak lagi pindah klub. Tapi dia tetap jadi contoh buat striker muda:
Kerja keras, adaptif, dan jangan biarkan kritik hancurin lo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *